Sejenak berehat sembari melihat-lihat kenangan foto lama, teringat dengan kenangan yang menjadi pengalaman pribadi yang mungkin dapat membuktikan bahwa bibit segar tak dapat menghsilkan buah yang bagus tanpa adanya pupuk, tentang bertolak belakangnya antara ayah dan anaknya. tulisan ini ditulis sebagai karangan non ilmiah, yang penulis tulis dengan bahasa yang tidak baku. berikut ceritanya:
NASIB ATAU TAKDIR
Didesa yang kecil yang dipenuhi dengan
keindahan alami yang masih belum tersentuh perkembangan perindustrian, dan di
sana terdapat rumah-rumah yang berdiri terpisah jarang-jarang. Diantara salah
satu rumah itupun tinggal seorang ustad yang hidup dengan seorang istri dan
seorang anak laki-laki tunggal. Suatu hal yang menunjukkan kalau desa ini masih
merupakan keindahan alami yaitu dengan jalan pedesaan yang kadang tidak hanya
dilintasi jejak kaki manusia, namun juga seekor rusa besar pun ikut
melintasinya pada siang hari dan beruang buaspun pada malam harinya.
Seorang ustad yang hidup dengan taat
mengikuti aturan dan menjauhi larangan, hidup dengan kelembutan dan seseorang
yang lebih banyak memilih diam diluar dari urusan keagamaannya. Banyak tetangga
memandangnya hebat sebagai seorang imam untuk sholat berjamaah namun banyak
memilih diam ketika sebagai imam untuk anak dan istrinya. Beliau selalu bekerja
keras dan mengerjakan apa yg kadang bukan menjadi pekerjaannya, melainkan
pekerjaan seorang istri. Pagi hingga siang ia bekerja diladang, dan sesampai
dirumah ia bekerja keras lagi untuk memenuhi kebutuhan anak dan istrinya,
masak, bersih-bersih rumah dan sampai mencuci baju pun ia kerjakan sendiri.
Seiring berjalannya waktu, sang anak
pun tumbuh besar yang diiringi juga dengan perkembangan zaman namun sedikit
perhatian dari sang bapak yang dikenal dengan sikap yg lembut tanpa pernah
memarahi sang anak sekalipun walau itu jelas sekali sikap yg salah dari seorang
anak dan sang ibu hanya sibuk dengan dirinya sendiri yg lebih bnyak memilih
tdur dan menyendiri di ruangan kamar yg tampak agak buram.
Hari-hari telah dilalui oleh keluarga
kecil ini dengan tanpa ada yg berubah. Sang anak tumbuh dengan cepat dan baru
saja lulus dari pendidikan SMP-nya dan berniat untuk melanjutkan ke tingkat
SMA-nya. Namun sang anak tidak ingin lagi bersekolah di desa tersebut yg sepi,
ketinggalan teknologi, dan akses ke sekolahpun jelas menjajaki bukit-bukit yang
menjulang tinggi dan dipenuhi semak-semak berduri tajam yang ketika dilewati
gerombolan babi-babi pun melintas.
Lalu si ustad mengikuti apa keinginan
anaknya tersebut untuk menyekolahkan nya di kota. Berangkatlah sang anak dengan
hati yg gembira dan di terima disuatu sekolah yg ada dikota. Hari-hari berlalu,
sang anak jarang sekali pulang, yang sering pulang hanya surat-surat yg
berisikan “pak uang jajanku habis, banyak sekali tugas-tugas sekolah yg harus
dikerjakan”. Mendengar isi surat trsebut sang bapak bergegas mengirimkan uang,
walau kadang uang tersebut pinjaman dari tetangga yg telah menumpuk disana-sini
tanpa memikirkn dengan apa membayar pnjaman tersebut kelak.
Tiga tahun berlalu sang anak sekolah
dikota, tiba lah masanya di mana sang bapak berharap untuk mendengar kelulusan
sang anak dari pendidikannya, namun sang anak belum juga pulang dan belum juga
lulus. Si ustad pun mulai sangat kecewa pada sang anak, untuk menghlangkan
kekecewaannya ia mencoba untuk berjalan2 keliling kampung. Ketika melintasi
sebuah warung terdengar sekelompok seorang masyarakat bercerita kepada kwan2nya
yg lain, isi ceritanya yg tiada lain yaitu tentang anakny yg berada dikota. Ia
menceritakan kalau anaknya dikota sudah menjadi orang yg hebat. Ya hebat, hebat
berjudi, hebat mabuk-mabukkan, hebat main wanita dan hebat menggunakan barang2
ilegal. Muka si ustad pun memerah, marah yg di campuri lesu, namun ia tak tau
kemana hendak melampiaskan kemarahan tersebut.
Seketika ia sadar, dan si ustad pun langsung pergi ke masjid, untuk
menceritakan kekecewaannya kepada tuhan. Untuk menangis akan nasib yg ia alami.
Ia menangis sambil berceloteh tanpa henti dalam doa-doanya.
lalu ia bertanya kepada tuhan, “siapa yg salah, diriku atau takdirmu ya
tuhan”.?
Back To Home